“Fabi ayyi aalaa
irobbikumaa tukaddzibaan.............
Sayup – sayup ku dengar sepenggal ayat surah Arrahman dibacakan,rupanya
alaram dari telepon genggam ku, alaram yang berbunyi setiap waktu menunjukkan
pukul 3 dini hari, inilah kebiasaan ku,
selalu menghidupkan alaram untuk membantu membangunkan ku dari setiap mimpi –
mimpi yang terukir disudut lelahku, sebenarnya masih setengah dari seluruh
nyawaku yang berkumpul, namun ku langkahkan kaki ku menuju kamar mandi untuk
berwudhu, aku teringat pesan guru ngaji ku saat kecil dulu, beliau berkata
dengan berwudhu syaitan – syaitan yang menggelayut di kelopak mata ku akan lari
tunggang langgang karena terkena air wudhu, dan benar ku rasakan kesejukan dan
rasa kantuk ku benar – benar hilang.
Segera ku tunaikan sholat sunnah 2
rokaat dan ku ulangi beberapa kali serta terakhir ku tutup dengan sholat witir,
dan tak lupa ku panjatkan doa untuk kedua
orang tua ku,keluarga ku, sahabat – sahabat ku dan tentunya untuk semua saudara
seiman ku. 30 menit berlalu, ku lihat jam dinding di kamar ku menunjukkan pukul
tiga lewat empat puluh lima menit, ku langkahkan kaki ku menuju ruang paling
belakang di rumah ku, tepatnya dapur, di sana ku lihat ibu ku sedang sibuk
membuat kue, beginilah rutinitas ku setiap hari, mulai dini hari, aku membantu
ibu ku membuat kue, dan menyiapkan nya untuk ku dagang kan keliling kompleks
dekat rumah ku, aku hanya tinggal bersama ibu dan keponakan ku, bermula saat
kejadian itu.
Aku di kejutkan oleh Pak Rahman,
tetangga sebelah rumah ku, dia berlari tergopoh – gopoh menghampiri ku yang
sedang asik duduk di teras rumah menikmati indahnya sang surya menjelang senja.
“ Mba Zahra,
Mba Zahra,” Panggil pak Rahman dengan nada panik, aku pun mengerutkan kening
ku, tergurat perasaan bingung di benak ku.
“ada apa Pak
Rahman?” jawab ku setenang mungkin
“ Mas Zidni
ada di rumah Mba?” nada suaranya sedikit tenang
“tidak ada
Pak, baru saja pulang “ jawab ku masih agak heran, mas Zidni memang baru saja
meninggalkan rumah ku untuk kembali ke rumahnya yang berada di desa
sebelah setelah dua hari menginap di
rumah ku, karena ada acara seribu hari
wafatnya nenek ku.
“berarti benar”
suaranya terdengar lirih
“benar apanya
Pak?” aku mulai menyelidik
“barusan ada
yang bilang, di perempatan Kecubung Desa Sido Mukti ada kecelakaan, dan
sepertinya itu mas Zidni dan istrinya tapi coba Mba Zahra kesana untuk melihat
itu mas Zidni atau bukan,”
Aku seperti
tersambar petir mendengar penjelasan Pak Rahman, belum hilang di benak ku
bayangan mas Zidni, mba Farah serta anaknya Azka yang baru berumur sebelas
bulan berpamitan pada Abah, Ibu dan aku, namun hati ku terus berdo’a semoga apa
yang di katakan Pak Rahman itu bukan Mas Zidni, tanpa ingat bahwa Pak Rahman
masih berdiri di depan ku, aku menghambur lari masuk ke rumah menemui Ibu dan
abah ku yang sedang menonton televisi di
ruang tengah.
“Abah, Ibu, “
panggil ku dengan nada panik
“ada apa to
nduk?” tanya Abah dengan logat jawa nya
“adda ada
kecelakaan di perempatan Kecubung Bah, dan diperkirakan itu mas Zidni”
penjelasan ku terbata bata karena air mata ku ikut tumpah ruah bersama
meluncurnya kata – kata ku
“kata siapa
nduk?” ibu ku berusaha tenang
“kata Pak
Rahman Bu”
“mana Pak
Rahman nduk?” tanya Abah lagi
“di luar Bah”
Abah, Ibu dan
aku berlari ke luar menemui Pak Rahman,untung saja Pak Rahman masih menunggu
kami
“Pak Rahman,
tirose sinten Zidni kecelakaan?” tanya ibu dengan nada panik
“tirose lare –
lare Bu, wau Rozak wangsul sakeng sekolahan, dadose ningali kecelakaan niku,
tirose sepedahe kados ghadane mas Zidni”
“ ayo Bah kita
ke sana, siapa tau itu memang Zidni, walo ibu berharap itu bukan Zidni” ajak
Ibu pada Abah, Abah pun setuju, dan berjalan menuju ke samping rumah mengambil
sepeda motor,
“nduk kamu di rumah
aja, biar Abah dan Ibu yang ke sana”
pinta Ibu
“inggeh Bu”
aku menjawab dan mengangguk pelan
Lamat – lamat
punggung ibu ku menghilang bersamaan petang datang menjelang.
Rumah ku di penuhi isak tangis para
saudara dan handai taulan, serta para tetangga yang datang ikut berduka atas meninggalnya
kakak ku satu – satunya, seseorang yang selalu melindungi ku, dan mengajar kan
ku banyak hal, salah satu nya kesabaran, namun bukan karena aku tidak sabar
dengan musibah ini, aku benar benar terpukul karena benar yang di kabar kan Pak
Rahman sore tadi, kecelakaan itu memang terjadi antara mas Zidni dan pengendara
truk yang kabarnya mengantuk, dan yang paling menyedihkan adalah kecelakaan itu
merenggut nyawa mas Zidni dan mba Farah, hanya Azka bayi mungil berusia sebelas
bulan yang tengah belajar berjalan selamat dari kecelakaan tersebut, aku
merapatkan pelukan ku pada Azka.
Ujian dariNya bukan hanya sampai di
situ, Abah ku yang baru menikmati beberapa bulan masa pensiunnya dari mengajar
Agama di Sekolah Dasar mendapatkan serangan jantung saat mengetahui mas Zidni
dan mba Farah dipanggil Allah sang Maha Pemilik Nafas. Dan beberapa pekan
dirawat di rumah sakit, beliau pun dipanggil Yang Maha Kuasa menyusul mas Zidni
dan mba Farah, seketika kehidupan ku berubah total, mendung slalu menggelayuti
hatiku, mata ku slalu sembab akibat menangis setiap ku ingat wajah – wajah
mereka, Abah, mas Zidni, dan mba Farah. Kepergian mereka seakan membawa pergi sebagian nyawaku, namun
senyum dan tangis Azka yang membuat aku harus tetap bertahan, meski saat itu
aku hampir berputus asa. Ibu selalu menguat kan hati ku, entah bagaimana Ibu
menata hatinya yang pasti sama dukanya dengan hati ku, mulai saat itu Ibu ku
berjuang demi aku, dan Azka keponakan ku, keteguhan Ibu lah yang menjadi
penyemangat ku, tidak hanya mengandal kan
pensiunan Abah ku, ibu bersinisiatif membuka usaha kecil – kecilan,
dengan membuat kue dan aku yang menjualnya keliling. Tak
terasa keadaan seperti ini telah berlangsung selama hampir lima tahun, saat itu
aku masih kelas 2 Madrasah Aliyah,dan sekarang ini aku berkuliah di salah satu
perguruan tinggi negeri yang berada tidak jauh dari kediaman ku, aku mengambil
jurusan Bahasa Indonesia, sejak kecil aku menyukai tulis menulis, walaupun
sampai saat ini tak satu pun tulisan ku pernah selesai, aku bisa berkuliah pun karena beasiswa
prestasi yang ku trima sejak mengikuti tes beasiswa di akhir kelas tiga. Kini Aku telah memasuki semester ke enam, dan Azka
telah hampir berumur enam tahun, tahun depan Azka akan masuk sekolah SD.
#############################
Seperti pagi sebelum – sebelumnya, aku sibuk memasuk - masukkan kue
daganganku kedalam keranjang yang akan ku bawa keliling kompleks dekat rumah
ku, dan seperti biasa, Azka slalu duduk menungguiku untuk membantu menghitung
semua kue – kue yang akan ku masukkan ke dalam keranjang,
“dua puluh,
dua puluh satu, dua puluh dua, terus berapa lagi Mba’ Zahya?” suara kecilnya
yang belum sempurna melafalkan huruf “er” slalu mampu membangkitkan semangat
ku.
“dua puluh
tiga Azka,” aku tersenyum melihat tingkahnya.
Ku cium
punggung tangan Ibu dan pipi Azka, aku berpamitan untuk mulai berjualan, dengan
diantar senyum dan doa dari ibu aku berangkat dengan semangat. Ku pacu pelan
sepeda motor peninggalan Almarhum abah ku. Sebenarnya dulu ibu ku yang bejualan
keliling, namun setelah aku lulus sekolah, aku mengambil alih pekerjaan ibu ku,
aku tak ingin membuat ibu merasa lelah karena mulai dini hari harus bangun dan
membuat kue, meski awalnya menolak, namun akhirnya ibu menyetujui jika aku yang
harus keliling.
“kue – kue, ada donat,kue lapis dan putu ayu” itulah semboyan ku ketika
menawarkan kue dagangan ku, hampir seluruh penghuni kompleks hafal dengan suara
ku yang sama selkali tidak merdu.
“mba Zahra, beli kue nya Mba” salah seorang memanggil ku, dan begitu
seterusnya, hingga kue daganganku tak tersisa.
Itulah rutinitas ku setiap pagi, sebelum aku berangkat ke kampus untuk
menuntut ilmu. Di kampus aku bukan termasuk mahasiswi yang dikenal banyak
orang, mungkin hanya orang – orang yang satu kelas dengan ku dan beberapa
senior yang dulu satu sekolah di Madrasah Aliyah yang mengenal ku, bukan karena
aku kurang bergaul, namun karna waktu ku di kampus tidak banyak ku habiskan
selain hanya untuk masuk kelas, ke perpustakaan mencari referensi atau pun
mengikuti kegiatan kampus yang wajib di ikuti seorang mahasiswi seperti ku,
karena aku sendiri aktif mrngajar TPA di kompleks dekat rumah ku. Semua
mengenal ku dengan nama Zahratul Ulya atau yang akrab dipanggil Zahra, hanya
salah satu sahabat ku yang bernama Wardah memanggil ku Zaza,entah dengan alasan
apa dia memanggil ku demikian, kerena aku dan Wardah telah berteman sejak kecil
aku pun mengizinkan nya memanggil ku Zaza.
Aku Menghampiri Wardah yang tengah sibuk membaca – baca buku, yang aku
tau itu bukan lah sebuah modul yang berisi materi, tapi sebuah Novel karya
Novelis ternama yang beberapa novelnya telah diangkat menjadi film layar lebar.
“ Novel baru
lagi Da?” tanya ku pada wardah,
“Ia Za, oleh –
oleh maz ku dari Jogja, kemaren ada bedah buku di sana, ini aku dapat tanda
tangan pengarangnya.” ungkapnya bangga.
“wah keren,
seperti biasa ya Da”
“oke Za.”
Wardah menjawab setuju tanpa ku beri tau maksud ku, karena Wardah memang sudah
tau maksud ku. Seperti biasa, aku selalu menjadi peminjam pertama novel –
novelnya, karena aku tak mungkin mampu sepertinya, menjadi pengkoleksi novel –
novel best seller,Wardah termasuk dari kalangan keluarga yang mampu, Ayah dan
ibunya seorang Pegawai Negeri, maka baginya tak berat untuk membeli sebuah
novel
“Eh iya Za,
hari ini kamu ada acara gak?” tanya wardah menyambung jawaban singkatnya tadi
“gak ada Da,
habiz kelas ini aku langsung pulang, kenapa Da?”
Temenin aku
mau gak Za?” ajaknya pada ku
“kemana Da?”
“temuin
sepupuku Za”
“tumben ajak
aku Da?”
“gak apa – apa
lah, dari pada nanti aku nungu dia sendirian Za, mau yah Za.” Wajahnya memelas,
dengan reflek akupun mengangguk.
############################
Aku dan Wardah menunggu di kantin kampus, jarang sekali aku pergi ke
tempat itu, kecuali Wardah yang mengajak, karena bagi ku sarapan di rumah telah
mampu mengganjal perut ku hingga pkegiatan kampus usai,
“ mau minum
apa Za?” yanya wardah pada ku
“apa aja Da, “
“jus Alpukat
kamu mau Za?” Wardah menawariku,
Aku mengangguk
pelan.
Tak lama dari
kejauhan aku melihat seseorang yang tak asing di ingatan ku, sosok yang tegap,
gagah serta berwibawa. Dia adalah seniorku, aku mengenalnya saat OSPEK 3 tahun
yang lalu, tepatnya bukan mengenal, karena kami tak pernah terlibat pembicaraan
langsung, aku hanya tau namanya, itupun dari teman – teman yang tanpa sengaja
ku dengar saat memanggilnya, menurut Wardah dia adalah sosok yang ideal dan meskipun begitu aku tak
pernah mau terlibat percakapan tentangnya, entah mengapa, sebenarnya aku tak
punya alasan jika Wardah menanyakan alasannya. Namun entah dari ruang memori ku
yang sebelah mana yang menyimpan erat ingatan bahwa dia adalah lulusan terbaik tahun
lalu dengan IPK tertinggi, dan yang paling melekat di ingatan ku adalah dia
salah satu anggota REMAS dekat kompleks ku.
Ada sosok yang tegap dihadapan
ku. Sosok yang ada di fikiran ku tadi
ternyata telah tiba beberapa detik yang lalu, dan duduk persis dihadapan meja
tempat aku dan wardah menunggu, karena lamunan ku tadi, aku tak memperhatikan
bahwa sosoknya menghampiri aku dan wardah
“sudah lama
menunggu Dek?” tanya sosok itu pada Wardah dan sebelumnya ia melempar senyum ke
arah ku, aku pun membalasnya dengan sedikit menunduk malu, namun aku agak
sedikit heran dengat panggilan “dek” kepada wardah, yang setahu ku Wardah telah
mempunyai calon yang akan siap meminangnya Tahun depan. Namun belum sempat aku
berfikir lagi jawaban Wardah telah mengalihkan fikiran ku
“ belum lama
kok Mas Alif , ya kan Zaza?” jawabnya dengan meminta persetujuan ku
Aku pun hanya
mengangguk, entah mengapa pita suara ku seperti hilang saat akan mengucapkan
kata “iya”
“Zaza, ini Maz
Alif, mas sepupuku,” Wardah menyenggol tangan ku, aku hanya mengangkat wajahku
dan tersenyum ke arah Wardah dan mas Alif, fikiran ku makin bertanya – tanya,
sebenarnya ada apa, karena tidak seperti biasanya, Wardah mengajak ku menemui
sepupunya, dan hari ini aku baru tau kalau mas alif adalah sepupunya, pantas
saja jika wardah slalu mangatakan pada ku, bahwa mas alif adalah sosok yang
ideal, mungkin karna Wardah tau segala tentangnya, dan sepertinya ada angin
yang membisik ke telinga ku untuk setuju dengan perkataan Warda beberapa waktu
yang lalu, karena yang aku tau keluarga Wardah adalah keluarga yang
berpendidikan serta agamis, dan pastinya termasuk sosok yang kini ada di
hadapan ku, mas Alif.
“ Dek Zahra
ya?’’ tiba – tiba suara itu membuyarkan lamunan ku, yang ternyata itu suara mas
Alif
“kok tau nama
saya?” tiba – tiba ku jawab dengan pertanyaan yang agak konyol, karena jelas
saja mas Alif tau nama ku, Wardah pasti telah memberitaukan sebelumnya, bahwa
Wardah akan menunggunya bersama ku.
“iya tau dek
Zahra dari Wardah, dia sering cerita tentang dek Zahra,” terangnya pada ku.
“gak apa –apa
kan Za?” Warda menimpali seakan tau kalau aku agak kaget mendengar penjelasan
mas Alif.
“gak apa – apa
Da, aku baru tau kalo mas Alif sepupunya Wardah” aku menjawab pertanyaan Wardah
dengan pernyataan yang membuat keduanya tertawa.
“ aku sampe
lupa Za cerita kalau mas Alif itu mas sepupu ku yang kita tunggu,hehe, habisnya
aku dah seneng banget waktu kamu mau aku ajak kesini” penjelasan Wardah
menambah banyak daftar pertanyaan ku mengapa Wardah mengajak ku ke sini.
“Dek Wardah
belum cerita tujuan mas Alif kesini ya Dek Zahra?” tanya mas alif pada ku
“ belum cerita
mas, ada apa ya mas alif ?” tanya ku menyelidik.
Wardah hanya
tersenyum mendengar percakapan ku dengan mas Alif.
“ada yang
ingin saya sampaikan pada dek Zahra” jawab mas Alif
“tapi bukannya
mas Alif kesini untuk bertemu Wardah?” tanya ku mulai heran
“ iya memang
ingin bertemu Wardah, tapi sebenernya yang meminta untuk mengajak dek Zahra
adalah saya, ada yang ingin saya sampaikan kepada dek Zahra”
“monggo mas
Alif” aku mempersilahkannya walau dengan mimik wjah bingung, kemudian aku
melihatnya, Mas Alif melirik ke arah wardah, Wardah pun mengangguk. Sepertinya
mereka mempunyai kode rahasia, namun aku tak sempat berfikir lagi, aku mulai
mendengarkan apa yang disampaikan mas Alif kepada ku.
“ begini dek
Zahra, kedatangan saya kesini, untuk menyampaikan sesuatu kepada dek Zahra, dan
sebelumnya saya meminta maaf karena mungkin seharusnya tidak di tempat yang
seperti ini”
Mas alif berhenti sejenak untuk mengambil nafas, terlihat sekali ada rasa
gugup yang terpancar dari wajahnya, dan yang tak kalah gugupnya adalah perasaan yang mendera hati ku, tangan ku
terasa dingin sekali, aku tak berani sedikitpun melihatnya, aku hanya tertunduk
untuk mendengarkannya dengan seksama, ini adalah pertama kalinya aku terlibat
pembicaraan dengan nya. Suasana kantin pun berangsur – angsur sepi seiring
detakan jarum jam yang melingkar di
tangan ku. Rupanya para penghuni kampus yang lain telah beranjak menuju kelas
masing – masing, dan kebetulan kelas ku telah ber akhir tadi.
Aku masih menunggu mas Alif meneruskan pembicaraannya. Wardah pun rupanya
ikut mendengarkan dengan seksama walaupun jari – jemarinya sibuk beradu dengan
keypad telepon genggamnya.
Sands Casino | Play Online | No Download Casino
BalasHapusWelcome to Sands Casino! Play over septcasino 500 online casino games. Enjoy the most popular Slots, Blackjack, Roulette งานออนไลน์ and Video Poker 1xbet with the best bonuses and free