Pages

^^Ahlan Wasahlan...... Welcome....... Sugeng Rawuh..... Selamat Datang^^

Sabtu, 07 Februari 2015

Sepenggal Cerita

                        “Fabi ayyi aalaa irobbikumaa tukaddzibaan.............
Sayup – sayup ku dengar sepenggal ayat surah Arrahman dibacakan,rupanya alaram dari telepon genggam ku, alaram yang berbunyi setiap waktu menunjukkan pukul 3 dini hari,  inilah kebiasaan ku, selalu menghidupkan alaram untuk membantu membangunkan ku dari setiap mimpi – mimpi yang terukir disudut lelahku, sebenarnya masih setengah dari seluruh nyawaku yang berkumpul, namun ku langkahkan kaki ku menuju kamar mandi untuk berwudhu, aku teringat pesan guru ngaji ku saat kecil dulu, beliau berkata dengan berwudhu syaitan – syaitan yang menggelayut di kelopak mata ku akan lari tunggang langgang karena terkena air wudhu, dan benar ku rasakan kesejukan dan rasa kantuk ku benar – benar hilang.
            Segera ku tunaikan sholat sunnah 2 rokaat dan ku ulangi beberapa kali serta terakhir ku tutup dengan sholat witir, dan tak lupa ku panjatkan  doa untuk kedua orang tua ku,keluarga ku, sahabat – sahabat ku dan tentunya untuk semua saudara seiman ku. 30 menit berlalu, ku lihat jam dinding di kamar ku menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh lima menit, ku langkahkan kaki ku menuju ruang paling belakang di rumah ku, tepatnya dapur, di sana ku lihat ibu ku sedang sibuk membuat kue, beginilah rutinitas ku setiap hari, mulai dini hari, aku membantu ibu ku membuat kue, dan menyiapkan nya untuk ku dagang kan keliling kompleks dekat rumah ku, aku hanya tinggal bersama ibu dan keponakan ku, bermula saat kejadian itu.
            Aku di kejutkan oleh Pak Rahman, tetangga sebelah rumah ku, dia berlari tergopoh – gopoh menghampiri ku yang sedang asik duduk di teras rumah menikmati indahnya sang surya menjelang senja.
“ Mba Zahra, Mba Zahra,” Panggil pak Rahman dengan nada panik, aku pun mengerutkan kening ku, tergurat perasaan bingung di benak ku.
“ada apa Pak Rahman?” jawab ku setenang mungkin
“ Mas Zidni ada di rumah Mba?” nada suaranya sedikit tenang
“tidak ada Pak, baru saja pulang “ jawab ku masih agak heran, mas Zidni memang baru saja meninggalkan rumah ku untuk kembali ke rumahnya yang berada di desa sebelah  setelah dua hari menginap di rumah ku,  karena ada acara seribu hari wafatnya nenek ku.
“berarti benar” suaranya terdengar lirih
“benar apanya Pak?” aku mulai menyelidik
“barusan ada yang bilang, di perempatan Kecubung Desa Sido Mukti ada kecelakaan, dan sepertinya itu mas Zidni dan istrinya tapi coba Mba Zahra kesana untuk melihat itu mas Zidni atau bukan,”
Aku seperti tersambar petir mendengar penjelasan Pak Rahman, belum hilang di benak ku bayangan mas Zidni, mba Farah serta anaknya Azka yang baru berumur sebelas bulan berpamitan pada Abah, Ibu dan aku, namun hati ku terus berdo’a semoga apa yang di katakan Pak Rahman itu bukan Mas Zidni, tanpa ingat bahwa Pak Rahman masih berdiri di depan ku, aku menghambur lari masuk ke rumah menemui Ibu dan abah ku yang sedang menonton televisi  di ruang tengah.
“Abah, Ibu, “ panggil ku dengan nada panik
“ada apa to nduk?” tanya Abah dengan logat jawa nya
“adda ada kecelakaan di perempatan Kecubung Bah, dan diperkirakan itu mas Zidni” penjelasan ku terbata bata karena air mata ku ikut tumpah ruah bersama meluncurnya kata – kata ku
“kata siapa nduk?” ibu ku berusaha tenang
“kata Pak Rahman Bu”
“mana Pak Rahman nduk?” tanya Abah lagi
“di luar Bah”
Abah, Ibu dan aku berlari ke luar menemui Pak Rahman,untung saja Pak Rahman masih menunggu kami
“Pak Rahman, tirose sinten Zidni kecelakaan?” tanya ibu dengan nada panik
“tirose lare – lare Bu, wau Rozak wangsul sakeng sekolahan, dadose ningali kecelakaan niku, tirose sepedahe kados ghadane mas Zidni”
“ ayo Bah kita ke sana, siapa tau itu memang Zidni, walo ibu berharap itu bukan Zidni” ajak Ibu pada Abah, Abah pun setuju, dan berjalan menuju ke samping rumah mengambil sepeda motor,
“nduk kamu di rumah aja, biar Abah dan Ibu  yang ke sana” pinta Ibu
“inggeh Bu” aku menjawab dan mengangguk pelan
Lamat – lamat punggung ibu ku menghilang bersamaan petang datang menjelang.

            Rumah ku di penuhi isak tangis para saudara dan handai taulan, serta para tetangga yang datang ikut berduka atas meninggalnya kakak ku satu – satunya, seseorang yang selalu melindungi ku, dan mengajar kan ku banyak hal, salah satu nya kesabaran, namun bukan karena aku tidak sabar dengan musibah ini, aku benar benar terpukul karena benar yang di kabar kan Pak Rahman sore tadi, kecelakaan itu memang terjadi antara mas Zidni dan pengendara truk yang kabarnya mengantuk, dan yang paling menyedihkan adalah kecelakaan itu merenggut nyawa mas Zidni dan mba Farah, hanya Azka bayi mungil berusia sebelas bulan yang tengah belajar berjalan selamat dari kecelakaan tersebut, aku merapatkan pelukan ku pada Azka.
            Ujian dariNya bukan hanya sampai di situ, Abah ku yang baru menikmati beberapa bulan masa pensiunnya dari mengajar Agama di Sekolah Dasar mendapatkan serangan jantung saat mengetahui mas Zidni dan mba Farah dipanggil Allah sang Maha Pemilik Nafas. Dan beberapa pekan dirawat di rumah sakit, beliau pun dipanggil Yang Maha Kuasa menyusul mas Zidni dan mba Farah, seketika kehidupan ku berubah total, mendung slalu menggelayuti hatiku, mata ku slalu sembab akibat menangis setiap ku ingat wajah – wajah mereka, Abah, mas Zidni, dan mba Farah. Kepergian mereka  seakan membawa pergi sebagian nyawaku, namun senyum dan tangis Azka yang membuat aku harus tetap bertahan, meski saat itu aku hampir berputus asa. Ibu selalu menguat kan hati ku, entah bagaimana Ibu menata hatinya yang pasti sama dukanya dengan hati ku, mulai saat itu Ibu ku berjuang demi aku, dan Azka keponakan ku, keteguhan Ibu lah yang menjadi penyemangat ku, tidak hanya mengandal kan  pensiunan Abah ku, ibu bersinisiatif membuka usaha kecil – kecilan, dengan membuat kue dan aku yang menjualnya keliling.            Tak terasa keadaan seperti ini telah berlangsung selama hampir lima tahun, saat itu aku masih kelas 2 Madrasah Aliyah,dan sekarang ini aku berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri yang berada tidak jauh dari kediaman ku, aku mengambil jurusan Bahasa Indonesia, sejak kecil aku menyukai tulis menulis, walaupun sampai saat ini tak satu pun tulisan ku pernah selesai,  aku bisa berkuliah pun karena beasiswa prestasi yang ku trima sejak mengikuti tes beasiswa di akhir kelas tiga. Kini  Aku telah memasuki semester ke enam, dan Azka telah hampir berumur enam tahun, tahun depan Azka akan masuk sekolah SD.

                                               #############################
           

Seperti pagi sebelum – sebelumnya, aku sibuk memasuk - masukkan kue daganganku kedalam keranjang yang akan ku bawa keliling kompleks dekat rumah ku, dan seperti biasa, Azka slalu duduk menungguiku untuk membantu menghitung semua kue – kue yang akan ku masukkan ke dalam keranjang,
“dua puluh, dua puluh satu, dua puluh dua, terus berapa lagi Mba’ Zahya?” suara kecilnya yang belum sempurna melafalkan huruf “er” slalu mampu membangkitkan semangat ku.
“dua puluh tiga Azka,” aku tersenyum melihat tingkahnya.
Ku cium punggung tangan Ibu dan pipi Azka, aku berpamitan untuk mulai berjualan, dengan diantar senyum dan doa dari ibu aku berangkat dengan semangat. Ku pacu pelan sepeda motor peninggalan Almarhum abah ku. Sebenarnya dulu ibu ku yang bejualan keliling, namun setelah aku lulus sekolah, aku mengambil alih pekerjaan ibu ku, aku tak ingin membuat ibu merasa lelah karena mulai dini hari harus bangun dan membuat kue, meski awalnya menolak, namun akhirnya ibu menyetujui jika aku yang harus keliling.

“kue – kue, ada donat,kue lapis dan putu ayu” itulah semboyan ku ketika menawarkan kue dagangan ku, hampir seluruh penghuni kompleks hafal dengan suara ku yang sama selkali tidak merdu.
“mba Zahra, beli kue nya Mba” salah seorang memanggil ku, dan begitu seterusnya, hingga kue daganganku tak tersisa.

Itulah rutinitas ku setiap pagi, sebelum aku berangkat ke kampus untuk menuntut ilmu. Di kampus aku bukan termasuk mahasiswi yang dikenal banyak orang, mungkin hanya orang – orang yang satu kelas dengan ku dan beberapa senior yang dulu satu sekolah di Madrasah Aliyah yang mengenal ku, bukan karena aku kurang bergaul, namun karna waktu ku di kampus tidak banyak ku habiskan selain hanya untuk masuk kelas, ke perpustakaan mencari referensi atau pun mengikuti kegiatan kampus yang wajib di ikuti seorang mahasiswi seperti ku, karena aku sendiri aktif mrngajar TPA di kompleks dekat rumah ku. Semua mengenal ku dengan nama Zahratul Ulya atau yang akrab dipanggil Zahra, hanya salah satu sahabat ku yang bernama Wardah memanggil ku Zaza,entah dengan alasan apa dia memanggil ku demikian, kerena aku dan Wardah telah berteman sejak kecil aku pun mengizinkan nya memanggil ku Zaza.

Aku Menghampiri Wardah yang tengah sibuk membaca – baca buku, yang aku tau itu bukan lah sebuah modul yang berisi materi, tapi sebuah Novel karya Novelis ternama yang beberapa novelnya telah diangkat menjadi film layar lebar.
“ Novel baru lagi Da?” tanya ku pada wardah,
“Ia Za, oleh – oleh maz ku dari Jogja, kemaren ada bedah buku di sana, ini aku dapat tanda tangan pengarangnya.” ungkapnya bangga.
“wah keren, seperti biasa ya Da”
“oke Za.” Wardah menjawab setuju tanpa ku beri tau maksud ku, karena Wardah memang sudah tau maksud ku. Seperti biasa, aku selalu menjadi peminjam pertama novel – novelnya, karena aku tak mungkin mampu sepertinya, menjadi pengkoleksi novel – novel best seller,Wardah termasuk dari kalangan keluarga yang mampu, Ayah dan ibunya seorang Pegawai Negeri, maka baginya tak berat untuk membeli sebuah novel
“Eh iya Za, hari ini kamu ada acara gak?” tanya wardah menyambung jawaban singkatnya tadi
“gak ada Da, habiz kelas ini aku langsung pulang, kenapa Da?”
Temenin aku mau gak Za?” ajaknya pada ku
“kemana Da?”
“temuin sepupuku Za”
“tumben ajak aku Da?”
“gak apa – apa lah, dari pada nanti aku nungu dia sendirian Za, mau yah Za.” Wajahnya memelas, dengan reflek  akupun mengangguk.

                                                        ############################

Aku dan Wardah menunggu di kantin kampus, jarang sekali aku pergi ke tempat itu, kecuali Wardah yang mengajak, karena bagi ku sarapan di rumah telah mampu mengganjal perut ku hingga pkegiatan kampus  usai,
“ mau minum apa Za?” yanya wardah pada ku
“apa aja Da, “
“jus Alpukat kamu mau Za?” Wardah menawariku,
Aku mengangguk pelan.
Tak lama dari kejauhan aku melihat seseorang yang tak asing di ingatan ku, sosok yang tegap, gagah serta berwibawa. Dia adalah seniorku, aku mengenalnya saat OSPEK 3 tahun yang lalu, tepatnya bukan mengenal, karena kami tak pernah terlibat pembicaraan langsung, aku hanya tau namanya, itupun dari teman – teman yang tanpa sengaja ku dengar saat memanggilnya, menurut Wardah dia adalah  sosok yang ideal dan meskipun begitu aku tak pernah mau terlibat percakapan tentangnya, entah mengapa, sebenarnya aku tak punya alasan jika Wardah menanyakan alasannya. Namun entah dari ruang memori ku yang sebelah mana yang menyimpan erat ingatan bahwa dia adalah lulusan terbaik tahun lalu dengan IPK tertinggi, dan yang paling melekat di ingatan ku adalah dia salah satu anggota REMAS dekat kompleks ku.

            Ada sosok yang tegap dihadapan ku.  Sosok yang ada di fikiran ku tadi ternyata telah tiba beberapa detik yang lalu, dan duduk persis dihadapan meja tempat aku dan wardah menunggu, karena lamunan ku tadi, aku tak memperhatikan bahwa sosoknya menghampiri aku dan wardah

“sudah lama menunggu Dek?” tanya sosok itu pada Wardah dan sebelumnya ia melempar senyum ke arah ku, aku pun membalasnya dengan sedikit menunduk malu, namun aku agak sedikit heran dengat panggilan “dek” kepada wardah, yang setahu ku Wardah telah mempunyai calon yang akan siap meminangnya Tahun depan. Namun belum sempat aku berfikir lagi jawaban Wardah telah mengalihkan fikiran ku
“ belum lama kok Mas Alif , ya kan Zaza?” jawabnya dengan meminta persetujuan ku
Aku pun hanya mengangguk, entah mengapa pita suara ku seperti hilang saat akan mengucapkan kata “iya”
“Zaza, ini Maz Alif, mas sepupuku,” Wardah menyenggol tangan ku, aku hanya mengangkat wajahku dan tersenyum ke arah Wardah dan mas Alif, fikiran ku makin bertanya – tanya, sebenarnya ada apa, karena tidak seperti biasanya, Wardah mengajak ku menemui sepupunya, dan hari ini aku baru tau kalau mas alif adalah sepupunya, pantas saja jika wardah slalu mangatakan pada ku, bahwa mas alif adalah sosok yang ideal, mungkin karna Wardah tau segala tentangnya, dan sepertinya ada angin yang membisik ke telinga ku untuk setuju dengan perkataan Warda beberapa waktu yang lalu, karena yang aku tau keluarga Wardah adalah keluarga yang berpendidikan serta agamis, dan pastinya termasuk sosok yang kini ada di hadapan ku, mas Alif.
“ Dek Zahra ya?’’ tiba – tiba suara itu membuyarkan lamunan ku, yang ternyata itu suara mas Alif
“kok tau nama saya?” tiba – tiba ku jawab dengan pertanyaan yang agak konyol, karena jelas saja mas Alif tau nama ku, Wardah pasti telah memberitaukan sebelumnya, bahwa Wardah akan menunggunya bersama ku.
“iya tau dek Zahra dari Wardah, dia sering cerita tentang dek Zahra,” terangnya pada ku.
“gak apa –apa kan Za?” Warda menimpali seakan tau kalau aku agak kaget mendengar penjelasan mas Alif.
“gak apa – apa Da, aku baru tau kalo mas Alif sepupunya Wardah” aku menjawab pertanyaan Wardah dengan pernyataan yang membuat keduanya tertawa.
“ aku sampe lupa Za cerita kalau mas Alif itu mas sepupu ku yang kita tunggu,hehe, habisnya aku dah seneng banget waktu kamu mau aku ajak kesini” penjelasan Wardah menambah banyak daftar pertanyaan ku mengapa Wardah mengajak ku ke sini.
“Dek Wardah belum cerita tujuan mas Alif kesini ya Dek Zahra?”  tanya mas alif pada ku
“ belum cerita mas, ada apa ya mas alif ?” tanya ku menyelidik.
Wardah hanya tersenyum mendengar percakapan ku dengan mas Alif.
“ada yang ingin saya sampaikan pada dek Zahra” jawab mas Alif
“tapi bukannya mas Alif kesini untuk bertemu Wardah?” tanya ku mulai heran
“ iya memang ingin bertemu Wardah, tapi sebenernya yang meminta untuk mengajak dek Zahra adalah saya, ada yang ingin saya sampaikan kepada dek Zahra”
“monggo mas Alif” aku mempersilahkannya walau dengan mimik wjah bingung, kemudian aku melihatnya, Mas Alif melirik ke arah wardah, Wardah pun mengangguk. Sepertinya mereka mempunyai kode rahasia, namun aku tak sempat berfikir lagi, aku mulai mendengarkan apa yang disampaikan mas Alif kepada ku.
“ begini dek Zahra, kedatangan saya kesini, untuk menyampaikan sesuatu kepada dek Zahra, dan sebelumnya saya meminta maaf karena mungkin seharusnya tidak di tempat yang seperti ini”
Mas alif berhenti sejenak untuk mengambil nafas, terlihat sekali ada rasa gugup yang terpancar dari wajahnya, dan yang tak kalah gugupnya adalah  perasaan yang mendera hati ku, tangan ku terasa dingin sekali, aku tak berani sedikitpun melihatnya, aku hanya tertunduk untuk mendengarkannya dengan seksama, ini adalah pertama kalinya aku terlibat pembicaraan dengan nya. Suasana kantin pun berangsur – angsur sepi seiring detakan  jarum jam yang melingkar di tangan ku. Rupanya para penghuni kampus yang lain telah beranjak menuju kelas masing – masing, dan kebetulan kelas ku telah ber akhir tadi.
Aku masih menunggu mas Alif meneruskan pembicaraannya. Wardah pun rupanya ikut mendengarkan dengan seksama walaupun jari – jemarinya sibuk beradu dengan keypad telepon genggamnya.